JAKARTA, BERITAANDALAS.COM – Mahkamah Konstitusi (MK) resmi mengubah arah keserentakan Pemilu di Indonesia melalui putusan terbaru yang dibacakan pada Kamis (26/6/2025).
MK menegaskan bahwa mulai tahun 2029, Pemilu nasional dan daerah harus dilaksanakan secara terpisah. Artinya, tidak akan ada lagi ‘Pemilu 5 kotak’ seperti yang selama ini berlangsung.
Pemilu nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD) akan digelar terlebih dahulu, disusul dengan Pemilu daerah (DPRD, gubernur, bupati, dan wali kota) paling cepat dua tahun dan paling lambat dua tahun enam bulan setelah pelantikan Presiden atau DPR.
“Keserentakan Pemilu nasional dan daerah justru menurunkan kualitas demokrasi. Pemilih jenuh, partai terdesak pragmatisme, dan isu daerah tenggelam di tengah hiruk-pikuk nasional,” ujar Wakil Ketua MK, Saldi Isra, dalam sidang pleno, seperti dilansir dari laman resmi mkri.id.
Putusan ini merupakan respons atas uji materi yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terhadap Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada.
MK memutuskan bahwa:
- Pemilu nasional (Presiden, DPR, dan DPD) dilakukan terlebih dahulu.
- Pemilu daerah/lokal (DPRD dan kepala daerah) menyusul paling cepat dua tahun dan paling lambat dua setengah tahun kemudian.
- Jadwal pemungutan suara harus dilakukan pada hari libur nasional.
Mengapa Dipisah? Ini Alasan MK:
Pemilih Jenuh & Tidak Fokus
Pemilih kesulitan memilah banyak calon dalam satu waktu. Akibatnya, kualitas suara dan partisipasi melemah.
Pelemahan Partai Politik
Jadwal Pemilu yang terlalu padat membuat partai politik kesulitan menyiapkan kader. Akhirnya menjadi pragmatis dan transaksional.
Isu Daerah Tertutup Isu Nasional
Pembangunan daerah terabaikan karena kalah pamor dari isu nasional saat pemilu serentak.
Beban Berat Penyelenggara
KPU dan Bawaslu kewalahan karena jadwal yang padat. Masa tugas menjadi tidak efisien dan kualitas Pemilu ikut terdampak.

Bagaimana Masa Transisi?
MK menyerahkan sepenuhnya kepada pembentuk undang-undang (DPR dan pemerintah) untuk mengatur masa peralihan jabatan kepala daerah dan anggota DPRD hasil Pemilu 2024.
Putusan ini menandai langkah penting menuju penataan ulang sistem kepemiluan nasional demi peningkatan kualitas demokrasi. Pemilu yang terlalu kompleks tidak hanya membebani penyelenggara dan pemilih, tetapi juga berisiko merusak substansi demokrasi. (*)