SURABAYA, BERITAANDALAS.COM – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menegaskan bahwa kebijakan kewajiban kebun plasma merupakan langkah strategis untuk mengatasi ketimpangan pengelolaan tanah dan mewujudkan keadilan sosial serta pemerataan ekonomi.
Pernyataan ini disampaikan saat ia menjadi pembicara utama dalam Kuliah Pakar di Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (UNUSA), Senin (26/5/2025).
“Dulu, alasan negara memberikan konsesi tanah kepada pengusaha adalah agar tanah negara bisa dimanfaatkan secara produktif, dengan harapan tercipta efek berganda (multiplier effect) bagi pembangunan dan distribusi pendapatan. Namun kenyataannya, hasilnya belum optimal dan perlu dikoreksi,” ujar Menteri Nusron.
Kebijakan kewajiban plasma diatur dalam sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007, yang menetapkan kewajiban minimal 20%. Pada awal 2025, Kementerian ATR/BPN mengusulkan peningkatan kewajiban tersebut menjadi 30% dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPR RI. Usulan ini didasarkan pada evaluasi atas belum maksimalnya manfaat ekonomi bagi masyarakat sekitar wilayah konsesi.
Kebijakan ini akan diterapkan secara bertahap, khususnya bagi perusahaan perkebunan yang mengajukan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) tahap ketiga. Tujuannya adalah mendorong distribusi manfaat agraria yang lebih adil dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara konkret.
Menteri Nusron menegaskan, penerapan kebijakan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi.
“Ini harus dilakukan pelan-pelan, bertahap. Kalau izinnya langsung dicabut, bisa berdampak pada perekonomian yang justru shutdown,” ungkapnya.
“Solusinya adalah negosiasi. Perusahaan tetap bisa menggunakan tanah, tapi harus melibatkan partisipasi masyarakat. Awalnya tidak ada kewajiban plasma, lalu ditetapkan 20%. Ke depan, itu bisa ditingkatkan,” lanjutnya.
Ia menyampaikan harapan agar kewajiban plasma dapat terus ditingkatkan hingga mencapai 50%, bahkan 60–70%.
“Akhirnya akan tercipta kesetaraan yang lebih adil antara pelaku usaha dan masyarakat,” tegas Nusron.
Dalam kesempatan tersebut, Nusron juga mengajak mahasiswa UNUSA untuk aktif terlibat dalam perubahan dan pengawasan kebijakan publik, khususnya di bidang pertanahan dan tata ruang.
Ia menilai generasi muda memiliki peran strategis dalam mendorong reformasi kebijakan menuju Indonesia yang lebih adil dan merata.
Kuliah Pakar ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan bertema “Peran Perawat dalam Membangun Ketangguhan Komunitas Melalui Manajemen Siklus Bencana Terpadu”. Acara juga menghadirkan Anwar Kurniadi, Guru Besar sekaligus Kaprodi Manajemen Bencana Universitas Pertahanan Republik Indonesia, sebagai pembicara. Sesi diskusi dipandu oleh Priyo Mukti Pribadi Winoto, Dosen Keperawatan UNUSA. (*)